Novel "Tokyo Tower"

Judul: Tokyo Tower; antara aku, ibu dan terkadang ayah
Penulis: Lily Franky
Penerjemah: Fatmawati Djafri
Penerbit: Kansha Publishing
Cetakan: 1, Desember 2013
Tebal: 396 halaman
ISBN: 978-602-97196-6-6


“Ternyata hidup itu indah ...setidaknya itu yang kurasakan saat bersamamu, Ibu.”

Masaya kecil tidak pernah jauh-jauh dari ibu yang mengasuhnya seorang diri. Namun saat beranjak dewasa, keinginan kuat untuk meninggalkan desa dan hidup mandiri membuatnya pergi meninggalkan sang Ibu.

Dilatarbelakangi kehidupan Kota Tokyo yang hiruk-pikuk, Masaya terjerumus dalam kebebasan sebuah kota besar tanpa kehadiran Ibu. Namun saat ibunya ikut tinggal bersamanya di Tokyo, kehidupannya mulai membaik.

Sampai saat yang paling ditakuti itu datang ...

Kisah nyata yang telah diangkat dalam serial TV dan juga film layar lebar ini menceritakan perjuangan seorang ibu dalam membesarkan anaknya. Dan perjuangan pemuda untuk menemukan makna hidup dan bangkit dari keterpurukan untuk membahagiakan sang Ibu.

Ketika hidup, kau rela mati demi anakmu.
Ketika mati, kau ingin hidup untuk menjaga anakmu.



Karena katanya sudah difilmkan, saya jadi penasaran. Berkat browsing, jadi tahu kalau yang dimaksud ialah drama di tahun 2007 dengan judul Tokyo Tower: Mom and Me, and Sometimes Dad. Pemain utama drama bersetting Jepang di tahun 1960-an ini adalah Joe Odagiri sebagai Masaya dan Kirin Kiki sebagai ibunya, dengan sutradara Joji Matsuoka.  


Menurut wikipedia, ternyata ... Film drama ini diangkat dari Novel Autobiografi karya Lily Franky dengan judul asli Tokyo Tower: Okan to Boku to Tokidoki Oton. Kekuatan cerita Novel Autobiografi ini yang membuat orang banyak tertarik untuk membacanya. Tak salah jika kemudian novel ini menjadi Best Seller di Jepang dengan penjualan mencapai 2 juta eksemplar. Film ini sendiri telah diikutsertakan pada Festival Film Cannes dan pada ajang Japan Academy Award 2008 lalu meraih13 nominasi di berbagai kategori, diantaranya nominasi Film terbaik , nominasi aktor terbaik (Joe Odagiri), nominasi aktris terbaik (Kirin Kiki) dan nominasi sutradara terbaik (Joji Matsuoka).

Tokyo ibarat sorot lampu, banyak laron yang datang mendekat padanya, terpesona akan cahaya yang belum pernah dilihat sebelumnya. Novel ini mengisahkan tentang sebuah keluarga dan hubungannya dengan Tokyo. Sang ayah yang terlempar dari pusaran dan kembali ke kampung halaman, sang anak yang kehilangan tempat untuk kembali dan sang ibu yang tertidur selamanya di kaki Tokyo Tower.

Masaya, seorang anak lelaki biasa. Ia dibesarkan oleh sang ibu. Awalnya Masaya tinggal bersama ayah dan ibunya. Namun karena menumpang dan hidup bersama mertua, saudara ipar, dan penghuni kos maka ibu Masaya membawanya keluar dan menumpang di rumah mertua kakak perempuan ayahnya. Di situlah awal hidup terpisah dengan ayahnya. Keduanya lantas pindah lagi ke Chihuko, tinggal bersama nenek dari pihak ibu.

“Siapa orang yang paling kau sayang?”

Aku selalu memberikan jawaban yang sama. “Ibu.”

“Setelah itu siapa?”

“Nenek Kokura.”

“Iya, ya ... betul, betul,” kata Nenek.

Nama Ayah tak masuk dalam daftar orang yang aku sayangi. Itu bukan karena aku tidak menyukainya. (halaman 27)

Karena suatu alasan, ayah dan ibu Masaya harus tinggal terpisah. Bukan berarti kemudian keduanya bercerai. Di saat terpenting, ayah Masaya selalu hadir. Bahkan saat pertimbangan hidup Masaya di Tokyo, sang ayah juga memiliki peranan.

Sewaktu kecil, Masaya pernah terkena disentri dan harus dirawat di ruang isolasi. Siapa sangka belasan tahun kemudian, ia juga harus menjenguk seseorang di ruang isolasi, ibunya. Penyakit yang diderita sang ibu membuat Masaya berjuang mencari uang, ia tidak lagi menjadi seorang yang suka menghabiskan uangnya untuk berjudi.


Pada usia kepala tiga, ia masih sangat lengket dengan ibunya dan belum memikirkan untuk menikah. Kedekatannya juga menular pada kawan-kawannya, bahkan di saat salah seorang temannya berulang tahun, ibunya hadir di tengah para anak muda yang berbahagia. Walau ibu Masaya tidak memiliki keinginan untuk menetap di Tokyo, namun Tuhan berkehendak lain.

Saat membaca novel ini, saya sempat kesal pada Masaya. Ia lupa pada tujuan awal tinggal di Tokyo. Sudah tahu kalau warung ibunya tidak banyak mendatangkan pelanggan, ia masih saja minta uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar utang yang ditumpuknya. Kuliahnya juga berantakan, pun sering pindah tempat tinggal karena tak sanggup membayar sewa. Pekerjaan paruh waktunya sebagai ilustrator yang sebenarnya menghasilkan banyak uang, tidak dijalaninya dengan baik.

Air mata saya sempat menetes ketika membaca tentang bagaimana perjuangan ibu Masaya. Setelah sang nenek meninggal, ibu Masaya kemudian juga kehilangan tempat tinggalnya. Masaya lalu menawarkan agar ibunya tinggal bersamanya walau sebenarnya kediaman Masaya ialah hasil patungan bersama kawannya. Ibu Masaya yang menderita kanker, begitu baiknya berperan seperti seorang yang sehat-sehat saja. Ia tidak ingin membuat putranya khawatir. Hingga masa itu tiba ...

Saya suka cara penceritaan novel ini. Alur yang maju mundur, tidak membuat bingung pembaca. Walau lebih banyak narasi, dialog yang ditampilkan itu sudah memiliki makna yang besar. Beberapa membuat tersenyum, beberapa membuat ... jleb, pembaca jadi bisa bercermin darinya.

Seberapa pun berbaktinya kita kepada orangtua,
kita pasti akan  merasa menyesal,
akan mengatakan, “Ah, seandainya aku dulu melakukan ini,
atau melakukan itu untuk mereka.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*