Kondisi Suami yang Berprofesi Perawat di Tengah Pandemi


Di masa pandemi begini, kesehatan jadi nomor satu. Banyak aspek yang kemudian berubah, demi agar kesehatan selalu terjaga.
Beberapa bulan lalu, selama hampir 3 bulan kita melaksanakan anjuran pemerintah untuk di rumah saja. Mulai bekerja, belajar, beribadah, semua hal dilakukan di rumah saja. Banyak pekerja yang kemudian Work From Home (WFH), kecuali beberapa pekerjaan yang tak bisa dikerjakan bila hanya berada di rumah, petugas kesehatan salah satunya.

Suami saya seorang perawat. Bukan di rumah sakit, ataupun di puskesmas. Suami saya ialah perawat sebuah pabrik besar di salah satu kota di Jawa Timur. Karena pabriknya ialah pabrik minuman yang mana diperbolehkan untuk terus beroperasi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, membuat kerja suami dan beberapa rekannya makin berat dan menumpuk.

Kalau biasanya hanya melayani pegawai pabrik yang sakit dan memeriksakan diri ke klinik pabrik, kini tugasnya pun bertambah dengan memantau status kesehatan para pegawai pabrik yang jumlahnya ribuan. Beruntung tugasnya terbantu dengan para pegawai yang rutin melapor apabila merasa ada keluhan tidak enak badan. Dengan demikian bisa langsung ditindak dengan memberikan surat cuti agar pegawai yang kurang enak badan tersebut bisa karantina di rumah selama waktu yang ditentukan. Tugas suami saya pun mengelompokkan dan mencatat mana pegawai yang OTG, ODP dan PDP.

Ketiga istilah ini mungkin sudah sering kita dengar, ya. Tak hanya diberitakan di media cetak dan media online, sosial media pun sering membicarakan sehingga orang awam pun jadi makin paham. Ketig singkatan dari istilah ini bertujuan untuk mengelompokkan risiko serta penampakan gejala dari mereka yang mungkin atau telah terpapar Covid-19. Dengan demikian jadi makin mudah memantau kondisi kesehatan dan mempermudah menentukan bagaimana penanganan lebih lanjut.

Istilah yang pertama adalah Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Mereka memiliki riwayat gejala ataupun sedang menderita demam, batuk, sesak napas, dan sakit tenggorokan. Ini merupakan penyakit Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA) yang menjadi salah satu tanda gejala terkena Covid-19. Tentunya mereka yang berstatus PDP kemudian terus dipantau kesehatannya, terutama pada saluran pernapasan. PDP membutuhkan perawatan di rumah sakit, sehingga tugas suami saya ialah membuatkan surat cutidan menanyakan kondisinya setiap hari, lewat telepon.

Istilah selanjutnya adalah ODP, Orang Dalam Pemantauan. Mereka yang ODP biasanya memiliki gejala yang lebih ringan, seperti batuk, sakit tenggorokan, dan demam. Kondisi ini ketahuan saat pegawai baru sampai tempat kerja dan diperiksa suhu tubuhnya. Mereka dengan suhu mulai 37,9°C kemudian dibuatkan surat istirahat, dan dipulangkan.

Pun bila saat tiba baik-baik saja kemudian di tengah jam kerja tiba-tiba kurang enak badan, langsung dipulangkan tanpa boleh kembali ke area kerja. Barang-barang pegawai dimasukkan kantong plastik, lalu hanya seorang khusus yang mengantar ke klinik dimana pegawai yang kurang enak badna tersebut memeriksakan diri. Meski mereka yang ODP belum tentu pernah ada kontak erat dengan penderita positif, namun harus tetap waspada.

Yang terakhir ialah Orang Tanpa Gejala (OTG). Mereka yang OTG memang tidak ada keluhan sakit apapun, namun karena memiliki risiko tertular dari orang positif COVID-19 sebab pernah melakukan kontak fisik atau pernah seruangan (radius satu meter) dengan PDP. Itulah mengapa OTG juga mendapatkan surat cuti agar bisa karantina mandiri di rumah. Mereka juga wajib melakukan pemeriksaan lebih lanjut, yakni dengan Covid test Surabaya agar dapat diketahui hasilnya reaktif atau tidak.

sebelum hazmat suit disediakan pabrik, nih

Bisa dibilang, suami saya juga memiliki resiko besar terpapar Covid-19 karena setiap hari bersua dengan banyak orang, yang bisa saja salah satunya sakit dan ternyata itu corona. Syukurlah pabrik tempat suami saya bekerja juga peduli dengan kesehatan dan keselamatan pegawainya. Sehingga suami saya sudah dibekali dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang komplit, bak yang dipakai di rumah sakit. Suami saya pun telah melakukan rapid test dan alhamdulillah hasilnya negatif, sudah berulang kali melakukan rapid test. Mengapa sampai berulang? Sebab ada literatur yang menyebutkan bahwa hasil rapid test pertama yang non-reaktif belum tentu negatif Covid-19.

Saya terus berdoa dan berharap agar kami sekeluarga terus diberi kesehatan dan kekuatan. Mengingat meski saya dan anak hanya di rumah saja, namun suami tetap kerja dengan risiko demikian. Untuk itulah saya terus berusaha menerapkan standart protokol kesehatan di masa new normal ini. Tak cukup dengan selalu cuci tangan, jaga jarak dengan orang lain, pakai masker, makan makanan sehat dan olahraga saja, tapi juga terus update masalah Covid-19 dan berita kesehatan lainnya lewat HaloDoc.


Yang belum kenal Halodoc, ini  adalah aplikasi yang punya solusi lengkap terpercaya dalam penuhi kebutuhan kesehatan kita. Dengan diprakarsai Jonathan Sudharta pada April 2016 lalu, Halodoc adalah solusi untuk memafasilitasi interaksi antara dokter dengan pasien dalam sebuah layanan online melalui aplikasi. Jadi kita makin mudah untuk dapat akses info kesehatan dari sumber terpercaya. Tidak perlu antre lama di fasilitas kesehatan, untuk bertanya dan mendiskusikan masalah kesehatan yang sedang kita alami.

Asyiknya lagi... Halodoc ada aplikasinya yang  tersedia di Google Play bagi pengguna Android, dan di App Store bagi pengguna Iphone. Tidak ada biaya untuk mengunduhnya.Tapi ada banyak kelebihan yang bisa kita dapatkan, seperti konsultasi dokter, beli resep obat, serta baca artikel kesehatan yang terdapat di Halodoc. Sungguh aplikasi yang sangat membantu, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*