Memahami Persepsi "Wanita dan Kusta"

 


Penyakit kusta yang dikenal sejak zaman kuno ternyata hingga kini masih menjadi suatu masalah. Terlebih apabila mengenai wanita, tidak hanya menjadi masalah kesehatan serius namun juga bisa mengganggu makhota kecantikannya. Penelitian WHO yang menyelidiki dampak kusta menyebutkan bahwa kusta ini memperburuk kesetaraan gender yang ada. Diagnosis kusta juga menyebabkan stigmatisasi diri lebih besar di kalangan wanita sehingga berdampak besar pada kegiatan, terlebih karena kondisinya disembunyikan maka akan sulit keluar dari lingkaran penyakit kusta.

Pertanyaan tentang bagaimana solusinya kemudian terpecahkan ketika saya mengikuti Ruang Publik KBR yang dipersembahkan NRL Indonesia dengan tema "Wanita dan Kusta" pada Rabu, 30 Agustus 2023 pukul 09.00 - 10.00 WIB. Tayangan ini streaming dan bisa disimak ulang di YouTube Berita KBR. Menghadirkan Yuliati yang merupakan ketua PerMata Sulawesi Selatan yang juga Orang yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK) Perempuan, diskusi ini kian seru dengan dipandu oleh Rizal Wijaya.

Dikisahkan pada 2011, Yuliati pertama kali tahu bahwa dirinya terkena kusta. Kemungkinan dia tertular dari sepupunya yang merantau, karena sempat menunjukkan tanda-tanda terkena kusta namun saat itu belum paham akan penyakit kulit tersebut. Yuliati sempat menyembunyikan penyakitnya, bahkan sampai berhenti kuliah. Hingga kemudian kakak iparnya menanyakan kondisinya, Yuliati pun memberanikan jujur dan kemudian ditemani berobat ke pelayanan kesehatan. Padahal awalnya hanya ada bercak kecil di kaki, siapa sangka ternyata itu kusta.

Penyakit kusta ditandai dengan adanya mati rasa pada bagian tubuh yang terkena. Jadi saat itu Yuliati menggaruk salah satu ibu jari kakinya, namun terasa berbeda dengan lainnya. Ia tidak merasakan apa-apa, mungkin karena sudah setahun bercak kecil itu dibiarkan tanpa diobati. Antara percaya dan tidak percaya, dirinya kemudian tahu kalau itu gejala kusta apalagi bercak itu kemudian melebar.

Di masyarakat banyak informasi yang tidak benar tentang kusta. Yang katanya penderita kusta bisa menyebabkan disabilitas dan kemudian diisolasi, tidak bisa menikah, tidak bisa bekerja serta rumor-rumor menakutkan lainnya. Salah kaprah inilah yang membuat Yuliati semakin takut jujur akan kondisinya dan kemudian menyembunyikan diri bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri. Padahal kusta yang dideritanya hanya di jari kaki namun kemudian benar-benar membuat kondisinya terpuruk, namun stigma penderita kusta itulah yang membuat penderitanya sempat kehilangan semangat untuk hidup.

Beruntung keluarga Yuliati menerima kondisinya. Tidak ada menjauhinya, justru Yuliati yang menarik diri karena khawatir keluarganya bisa tertular. Yuliati pun berangsur naik kepercayaan dirinya, kemudian bisa keluar dari stigma diri. Ia bersyukur kalau ada yang menerima dirinya, dan berjanji akan jadi pribadi yang lebih baik lagi.

Yuliati berpesan, "Bila tahu kalau diri terkena kusta, jangan menunda-nunda untuk memeriksakan diri dan rutin berobat. Bila mengalami reaksi saat minum obat, segera konsultasikan pada petugas kesehatan sehingga bisa mendapat solusinya. Karena obat kusta memang memiliki efek samping yang berbeda-beda pada tiap individu, tapi hal ini bisa diminalisasi."

Di Ruang Publik KBR juga ada interaksi dengan penonton dan pendengarnya. Kita bisa bertanya lewat telepon, kirim pesan di WhatsApp ataupun komentar di kolom YouTube. Nantinya host akan membawakan dan dijawab langsung oleh narasumber. Dengan begitu segala pertanyaan kita mengenai kusta akan mendapat jawabnya dan bisa menghilangkan pemikiran buruk mengenai penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini.

Dari diskusi "Wanita dan Kusta", saya baru tahu kalau ada organisasi bernama PerMaTa yang dari dan untuk penderita kusta. Anggota adalah orang-orang yang sedang menderita kusta dan pernah menderita kusta. Dengan begitu di PerMaTa jadi bisa saling menguatkan dengan bisa sharing pengalaman dan memberikan support. Saat bergabung dengan PerMaTa pun Yuliati jadi lebih bersemangat melanjutkan hidup karena jadi menyadari ternyata ada yang kondisinya lebih parah darinya, bahkan sampai mengalami disabilitas namun masih giat berkarya dan menikmati hidup. Yuliati jadi optimis untuk bisa lebih baik lagi dan rajin mengikuti pelatihan-pelatihan yang membangun karakter dan penerimaan diri.

PerMaTa juga sering bekerja sama dengan institusi kesehatan dan melakukan sosialisasi tentang kusta ke masyarakat dan sekolah-sekolah. Tentang bagaimana penularannya, kusta itu bisa sembuh, kontak erat yang bisa membuatnya tertular dan kalau berobat maka tidak akan menularkan. Dengan begitu stigma buruk akan kusta jadi berkurang, ketakutan dekat dan mengenal penderita kusta jadi minimal.

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*